* *
Sudah lama juga kutatap bulan itu. Bentuknya tetap bulat sejak awal kulihat. Entah apa yang menarik dari bulan itu. Mungkin aku saja yang kurang kreatif untuk mencari obyek lain hingga tahan menatapnya berlama-lama.
Kepalaku masih penuh dengan berjuta cerita. Begitu banyaknya hingga aku sendiri tak mampu untuk menuturkan lewat kata. Kunikmati sendiri apa yang kurasakan. Terkadang senyumku tak sadar membias. Tak jarang alis mataku pun beradu kala perasaan gemas menggangguku.
Baru kusadari, tak ada bintang di langit. Kemana bintang-bintang itu? Bulan bersinar hanya tertutup sehelai kabut. Sangat tipis hingga mampu memberikan glow effect pada sinarnya. Ku lempar pandanganku sejauh mungkin, menjelajah langit berkabut itu, mencoba mencari titik-titik bintang yang seharusnya menceriakan langit itu.
Nol. Tak kutemukan satupun bintang disana.
Cerita khayalku berlanjut. Perlahan terngiang tawa-tawa riang, celoteh nakal dari mulut-mulut dalam hangatnya persahabatan. Kadang terdengar makian canda disitu. Ah, lucunya .. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, menunjukkan ada pesan masuk untukku.
‚Langitnya bagus. Sayang bintangnya kurang satu’. Begitu bunyi pesan itu. Aku tersenyum, dan membalas pesan itu dengan menanyakan, kemana bintang yang satu itu?
‚Bintangnya lagi minum teh botol :P’, jawabnya. Senyumku kian merekah. Aku tau, bintang yang dimaksud adalah aku. Aahh .., pesan pendek itu benar-benar membuat malamku indah, tak peduli apakah bintang di langit kala itu benar-benar kurang satu jumlahnya!
Aduh! Lamunanku sesaat bubar karena gigitan nyamuk yang mengganggu.
Kunikmati saja malamku kali ini dengan melanjutkan cerita khayalku.
‚Jangan tepis cemburumu dariku’. Itu pesan yang lain yang pernah kudapat saat kamu akan pergi meninggalkanku hanya untuk tiga hari. Uuuhhh ... Tak pernah aku sanggup untuk menepis cemburu itu darimu, memang. Hingga berkali-kali kukatakan, bahwa aku sangat pencemburu. Dan selalu kau katakan, trus?’
‚Aku ingin jadi tukang ojekmu’. Demikian ungkapan di sebuah media paparan hati pribadi milikmu. Kubaca, kuselami, paparanmu membuatku merasa bagai Lady Diana saat pertama kali Pangeran Charles menyatakan cintanya. Kuijinkan kau menjadi tukang ojekku. Tukang ojekku ganteng!
Kamu sangat suka melihatku menari-nari kecil di bawah sinar lampu taman malam itu. Aku menari untukmu. Aku ingin membahagiakanmu. Meskipun dengan bentuk badan yang lebih mirip Ulfa Dwiyanti daripada Luna Maya, tapi tetap kubiarkan badanku melayang-layang mengikuti nada yang kudendangkan sendiri. Dan kubiarkan sepasang mata hangat itu menikmati setiap gerakan yang kuciptakan.
Akulah Bidadarimu! Itu yang kutahu. Itu rasa yang kau ciptakan untukku. Dan kamu, Dewaku! Kamu adalah dewa bagi seorang bidadari yang selalu berusaha tegar bak Xena the Warrior Princess, tapi sesungguhnya tak lebih dari seorang putri pingitan yang terpasung hatinya oleh cinta. Tak mampu menolak karena harap. Tapi tak mampu pula menerima karena merasa tak pantas.
Seolah hampir seluruh pulau di dunia ini telah tersinggahi. Rasa lelah pun mungkin menghampiri. Sang Dewa terlalu letih memanjakan Sang Bidadari Rapuh. Dia pergi. Menjauh. Tanpa pesan. Pun tanpa salam yang dibisikkan di telinga Sang Bidadari.
Plak!
Sangat keras kupukul lenganku sendiri. Gigitan nyamuk yang baru saja hinggap, lumayan menyakitkan. Sekaligus membuyarkan cerita khayalku malam itu.
Terdiam ku sejenak. Menatap kembali bulan itu. Kupersembahkan seuntai senyum, sambil kubisikkan,’Selamat Jalan Dewaku. Selamanya, aku kan tetap menjadi Bidadarimu’.
- akhir dari sebuah kisah, menjadi awal bagi kisah yang lain -
Monday, November 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment